Sabtu, 04 Juni 2011

korupsi di Indonesia adalah sebuah tradisi

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Divisi
Monitoring dan Pelayanan Publik
Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade
Irawan, mengatakan korupsi di dalam
negeri sangat sistemik, sehingga sudah
menjadi semacam kartel. Setiap aktor
tidak bermain sendiri, tapi melibatkan
partai, pengusaha, dan birokrat. "Mereka
bahu-membahu mengeruk semua
sumber kekayaan negara," katanya di
acara diskusi "Indonesiaku Dibelenggu
Koruptor" di Jakarta, Sabtu, 4 Juni 2011.

Ade mengatakan, menurut pantauan ICW
selama tahun 2010 terdapat lebih dari
700 kasus korupsi yang terpantau media.
Kasus-kasus ini terjadi di pusat dan
daerah dan diperkirakan melibatkan
ribuan aktor. Kerugian negara yang
ditimbulkan oleh kasus-kasus korupsi ini
mencapai Rp 5 triliun. Ade mengatakan,
dengan ukuran ini, korupsi di Indonesia
sudah masuk kategori gawat.
Tidak hanya sangat sistemik, sebaran
kasus korupsi juga sangat meluas.
Menurut Ade, bukan sesuatu yang aneh
jika aliran dana pemerintah selalu harus
dipotong. Misalnya sekolah yang
mendapat dana khusus dari pemerintah
harus menyetorkan sebagian dana yang
diterima ke pejabat atau dinas tertentu.
Ini juga terjadi di dalam lingkungan DPR.
Masing-masing anggota Dewan sudah
memiliki jatah proyek masing-masing.
Karena itulah jika ada kasus korupsi yang
melibatkan anggota Dewan, tak ada yang
mau angkat bicara. Korupsi biasanya
terjadi pada saat pemilihan pejabat
publik, penentuan anggaran, pengajuan
program pemerintah, dan lainnya.
Ade mencontohkan, jika pemerintah ingin
program kerjanya disetujui, harus ada
setoran yang diberikan kepada anggota
Dewan. Ini menjadi ajang negosiasi
antara pejabat baik pusat dan daerah
dengan anggota Dewan. Negosiasi
menentukan siapa yang akan menjadi
pelaksana program itu, sementara
anggota Dewan akan menentukan
spesifikasi barang yang bisa diloloskan.
Sistem ini membuat korupsi terjadi
dengan melibatkan tiga pihak utama:
pengusaha, birokrat, dan anggota DPR.
Persoalannya, hasil korupsi bukan untuk
kepentingan pribadi politikus atau
anggota Dewan semata, tapi juga
mengalir ke partai untuk biaya kampanye
politik. "Tak mengherankan jika partai tak
akan menindak tegas kader yang terlibat
korupsi, bahkan cenderung melindungi,"
kata Ade.
KARTIKA CANDRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar